Minggu, 18 Desember 2011

Pada Sebuah Kapal

resensi novel angkatan ' 66
IDENTITAS NOVEL
Judul : Pada sebuah Kapal
Karangan : NH. Dini
Cetakan : Kedua, Tahun 1988
Tebal : 350 halaman


A. Sinopsis novel “Pada Sebuah Kapal”

Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni.
Ayahnya adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah
tari. Sri adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan
rukun di sebuah desa kecil yang terdapat di Semarang.
Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai
sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat
di kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa
jenuh dengan pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari
yang ada di kota tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji
di Jakarta. Tapi sayang, ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan
adanya penyakit yang terdapat di dalam paru – parunya. Setelah
berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan dan ia memilih sebuah
desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak
menjadi pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat
hidup di Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya
ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang telah lebih dulu ke Jakarta. Kini
Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara –
acara istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki.
Namanya Basir. Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain,
Yus sangat mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak
begitu menyukai Yus, karena komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil
Sri waktu sekolah dasar yang sekarang menjadi pramugari. Narti sering
main ke rumah paman Sri untuk mengunjunginya. Narti memperkenalkan
kedua teman yang bekerja di angkatan udara kepada Sri, mereka bernama
Saputro dan Mokar.
Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti
biasanya, sikap Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya
itu, Sri mulai jatuh hati dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri
dengan Saputro semakin dekat setelah mereka bertemu di acara Malam
Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan itulah, keduanya yakin
kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal penerbangan
yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan
oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di
Cekoslovakia, mereka memutuskan untuk tunangan dan segera menikah.
Setelah kembali dari Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan
sebuah cincin sebagai tanda pengikat diantara mereka. Malam itu pun
mereka habiskan bersama.
Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal
yang tidak dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah
menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang
sebentar lagi akan diraih oleh Sri harus bergantikan air mata, karena
Saputro tewas saat penerbangan dari Bandung menuju Jakarta karena
cuaca yang buruk.
Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat
hidup, dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya,
Carl selalu menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya
dia juga mencintai Sri. Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari
Carl, dia terlalu sombong dengan kekayaan yang dimiliki olehnya
walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah
dengan Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang
diplomat yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk
menikah dengan Charles ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo.
Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri menikah dengan Charles. Sutopo
yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan Charles karena Sri belum
begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan nasehat
keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya
menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang.
Kehidupan rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya
baik, perhatian sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang
pemarah, pelit, dan suka membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak
mencintai Charles, menjadi semakin benci karena sikap yang ditunjukan
Charles. Dari Charles, Sri melahirkan seorang anak perempuan.
Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk
melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia,
mereka berangkat ke Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya
untuk melakukan perjalanan dengan kapal. Sementara dirinya akan
mengunjungi beberapa Negara yang akan dikunjunginya. Sri tidak
keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua dengan anaknya yang
masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah mengharapkan suaminya
yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri untuk setia
terhadap suaminya.
Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan
lama, sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel,
seorang komandan kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama
melihatnya, Sri sudah tertarik karena sikapnya dan pada beberapa
kesempatan, mereka bertemu. hubungan antara Sri dengan Michel semakin
dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu mereka sering bertemu dan
cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri berpikir untuk
selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya, tapi Sri
juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai
Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada
cintanya yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan
kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun
harus berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya
selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti
biasanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Michel
mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke Yokohama. Sri sangat
gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri bertemu, mereka
saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang itu
mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari
akan keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan
pasangan masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta
keduanya. Sri sadar akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu
mencintai Michel.




B. Unsur Intrinsik novel “Pada Sebuah Kapal”

1. Tema
Perselingkuhan yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam rumah
tangga dan ketegaran dalam menghadapi semua masalah yang dihadapi
dalam hidup.
2. Latar atau Setting
a. Semarang
b. Jakarta
c. Kobe, Jepang
d. Kapal
e. Perancis
f. Yokohama
3. Alur atau Plot
a. Tahapan Permulaan
Sri dibesarkan dalam keluarga yang kental dengan darah seniman. Dia
adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Seperti kakak – kakaknya, dia
dimasukkan ke sekolah tari oleh ayahnya. Saat umurnya tiga belas
tahun, ayahnya meninggal. Setelah selesai dari sekolah menengah atas,
Sri bekerja sebagai penyiar radio yang ada di kotanya, Semarang. Tiga
tahun menjadi penyiar radio, Sri mulai merasa jenuh. Dia mencoba
mengikuti pendidikan pramugari dan akhirnya mendapat kesempatan untuk
diuji di Jakarta. Sri mengikuti berbagai macam tes. Hasil tes dapat
diketahui beberapa bulan kemudian. Berdasarkan hasil tes yang
diterima, Sri mengidap penyakit paru – paru, sehingga dia tidak
diterima menjadi pramugari. Sri melakukan pengobatan dan istirahat
total dari pekerjaannya selama dua bulan. Dia memilih tinggal di
Salatiga untuk menyembuhkan lubang yang terdapat di paru – parunya.
Setelah sembuh, Sri memutuskan pergi ke Jakarta. Dia tinggal di rumah
pamannya yang dulu ditempati Sutopo, kakaknya yang telah lebih dulu ke
Jakarta. Sekarang Sutopo memiliki rumah sendiri di Jakarta.
b. Tahapan Pertikaian
Selain bekerja sebagai penyiar radio, Sri menjadi penari untuk menari
di istana pada perayaan – perayaan tertentu. Rekan – rekan kerjanya,
sebagian tidak menyukai Sri, namun Sri tetap sopan terhadap mereka dan
bersabar menghadapi semuanya. Di Jakarta, Sri bertemu dengan teman
kecilnya waktu sekolah dasar, namanya Narti. Sekarang Narti bekerja
sebagai pramugari. Dia sering menemui Sri untuk sekedar makan atau
nonton film. Dari Narti, Sri mengenal Mokar dan Saputro yang merupakan
pilot angkatan udara. Selain itu, Carl seorang warga negara asing,
kawan Sutopo, dan Charles yang berkebangsaan Perancis yang sangat
tertarik dengan kebudayaan. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta,
Ibu Sri meninggal.
c. Tahapan Perumitan
Sri bertemu lagi dengan Saputro pada Malam Kesenian Pemuda se- Asia.
Pada saat itu Sri merasakan ada yang berbeda dalam dirinya, begitu
melihat sikap Saputro yang seperti mencintanya. Padahal sebelum –
sebelumnya mereka sering pergi bersama tapi bersama Narti dan Mokar.
Sejak malam itu, keduanya semakin dekat dan menjalin kasih. Setelah
merasa cukup, mereka memutuskan akan tunangan dan segera menikah
setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia. Namun
impian yang telah dirancang itu harus terkubur dalam – dalam, karena
Saputro tewas saat penerbangan Bandung – Jakarta. Hati Sri hancur
mendengar kabar buruk itu, Sri tenggelam dalam kesedihan. Di saat yang
sulit – sulit itu, Carl selalu menghibur Sri, karena dari awal dia
juga sudah menyukai Sri. Namun Sri menolak cinta Carl. Setelah sepuluh
bulan kematian tunangannya, Sri memutuskan untuk menikah dengan
Charles. Walaupun sebenarnya, dia idak mencintai Charles. Keputusan
Sri untuk menikah dengan Charles tidak disetujui oleh keluarga,
terutama kakaknya. Sutopo yakin kalau adiknya tidak akan bahagia jika
menikah dengan Charles, karena Sri belum terlalu mengenal Charles
dengan baik. Namun Sri keras kepala, Dia tetap menikah dengan Charles
d. Tahapan Puncak ( klimaks)
Setelah menikah dengan Charles, kewarganegaraan Sri berubah menjadi
Perancis mengikuti suaminya. Mereka menetap di Kobe-Japang. Pernikahan
Sri dengan Charles tidak bahagia, walaupun Charles selalu bilang
mencintainya. Setelah menikah, sikap Charles berubah. Charles tidak
lagi seperti yang dikenal Sri sebelum menikah. Sekarang Charles suka
marah – marah dan membentak Sri. Sikap ini membuat Sri semakin
membenci Charles. Dari Charles, Sri melahirkan anak perempuan. Saat
umur anaknya dua tahun, Charles mengajak istrinya berkunjung ke
beberapa Negara. Setelah satu bulan berada di Indonesia, mereka
terbang ke Saigon. Disana Charles meminta istri dan anaknya untuk
melakukan perjalanan dengan kapal, sedangkan dirinya akan mengunjungi
Negara – Negara yang ingin dikunjunginya.di kapal itulah Sri menemukan
kebahagiaan yang selama ini telah hilang.
Dalam perjalanan dari Saigon menuju Marseille, Sri bertemu dengan
seorang komandan kapal bernama Michel Dubanton. Sikap yang
ditunjukkannya membuat Sri jatuh hati pada komandan tersebut. Dalam
beberapa kesempatan, mereka bertemu dan mulai mengenal satu sama lain.
Sri yang tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Charles, dan Michel
yang kecewa dengan istrinya Nicole, mencoba mencari kebahagiaan di
luar pernikahannya. Perjalanan dari Saigon menuju Marseille merupakan
hal ang sangat membahagiakan bagi Sri, walaupun dia tahu menghianati
suaminya merupakan suatu kesalahan, tapi dia tidak menyesalinya.
e. Tahapan Peleraian
Setelah perjalanan berakhir, Sri dan Michel harus berpisah. Sri sangat
sedih, dia menangis karena perpisahan mengingatkan dirinya akan
seseorang yang telah meninggalkannya. Setelah urusan suaminya selesai,
mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri kembali seperti semula rumah
tangganya dilalui dengan pertengkaran – pertengkaran. Sampai – sampai
Sri memutuskan meminta cerai kepada suaminya dengan alasan sudah tidak
mencintainya lagi. Tapi Charles menolak dengan alasan anak. Setelah
beberapa lama tidak bertemu, Michel mengabarkan akan ke Yokohama dan
kesempatan itu tidak disia – siakan oleh mereka.
f. Tahapan Akhir
Sri menyadari bahwa dia dan Michel terikat oleh pasangan masing –
masing. Apalagi Michel adalah seorang pelaut ang sering jauh
darikeluarga, di pasti sering bertemu dengan perempuan – perempuan
dari berbagai negara yang mungkin saja menarik hatinya. Walaupun
Michel harus mengkhianati cintanya, tapi Sri akan selalu mencintai
Michel.
4. Sudut Pandang
Orang pertama. Karena dalam cerita, pengarang bertindak sebagai tokoh utama.
5. Penokohan
a. Sri : penuh semangat, tegar, keras kepala, sabar.
b. Michel : sabar, penyayang.
c. Saputro : sabar, penyayang.
d. Charles : pemarah, pelit, egois.
e. Sutopo : perhatian, suka menasehati.
f. Carl : baik hati, sedikit sombong.
6. Gaya Penulisan
Novel “Pada Sebuah Kapal” tidak jauh berbeda dengan novel – novel
karya NH. Dini yang lainnya. Namun novel ini bukan merupakan kisah
nyata yang dialami NH. Dini, walaupun menggunakan sudut pandang orang
pertama dan seting tempat serta tokoh – tokoh yang diceritakan di
dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan NH. Dini. Dalam
penulisannya, banyak terdapat gaya bahasa seperti personifikasi,
hiperbola, dan simile.
7. Amanat
Manusia harus selalu sabar dalam menghdapi semua masalah kehidupan,
harus mau menerima nasihat dari orang – orang terdekat, dan harus
bertanggung jawab dengan langkah yang telah diambil.





Kutipan novel “Pada Sebuah Kapal”

*****
Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku
mengawininya, aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku
berkata kepada diriku sendiri untuk mencintainya, aku kawin dengan dia
karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan
kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap seorang wanita
yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. Aku tahu
bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman
nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan
perhatiannya terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana
hidupnya. Apalagi karena aku tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh
kematian kawannya itu. Seolah tanggungjawabnyalah untuk memberiku
kehidupan yang telah ku idamkan bersama Saputro. Mungkin Nyoman benar
– benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan “mungkin” bagiku
sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak dapat
menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya
aku kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku
lebih berani mengharapkan kesetiaan daripada Carl. ( halaman 123)

Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan?
Ataukah itu disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu
disebabkan oleh nasibku? Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak
cukup mengenal orang yang ku kawin? Tapi aku telah membacai surat –
suratnya. Kini aku mengerti bahwa pikiran orang di surat sama sekali
tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak. Dan apakah sebenarnya yang
ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan? Pikiranku terlalu kalut
ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap meninggal untuk
tidak akan muncul kembali. ( halaman 124)
Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum
selesai. Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia
akan tinggal di tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti
setahun lebih lama daripada waktu dinas yang biasa. Rencananya amat
berliku – liku. Kami akan bersama – sama menuju Indonesia dan tinggal
di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke Saigon, di mana Charles
akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah kapal. Dia akan
meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota – kota di
India yang telah lama ingin dikunjunginya. ( halaman 147)

Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara
suamiku melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku
setujui. Beberapa kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya
membiarkan suamiku leluasa seorang diri. Aku dengan tenang menjawab
bahwa aku mempercayai Charles. Yang mengkhawatirkanku hanyalah
kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang tidak bias kita
ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan ragu –
ragu aku mengatakannya kepada Charles.
“ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa
Charles akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias
mempengaruhiku, lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya
kepdaku.
“Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa
kau lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita
akan ke sana bersama – sama.”
“Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas
terik matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!”
katanya dengan tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
“Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa.
Kita akan lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
“Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan
bicaraku. ( halaman 147)
Dengan sedih aku memandang ke luar. Aku tidak pernah lagi memandangi
wajahnya . bagiku segala yang membikinku sakit terkumpul di sana.
“Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi
demikian,” katanya lagi.
“Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa –
apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau
bersusah payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir
dari kau. Dia akan ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak.
Aku tidak mau membawanya bersamaku.”
Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
“Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
“Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke
rumah sosial.”
“Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
“Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
“Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
“Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang
sebenarnya. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan
penghambat yang besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa.
Aku bukan lagi warga negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke
negeriku untuk bekerja. Aku akan memilih negeriku yang kedua. Kau
selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu pun di
negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku
juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang – orang
di sana.”
Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku,
melihat seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba
– tiba dia terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?”
setengah berbisik aku mendengar kata – katanya. ( halaman 148)

Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
“Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia
terlalu lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang
sendiri!” kataku dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi.
“Aku mau supaya kita benar – benar memikirkan perceraian kali ini.
Sesampai di Eropa aku akan tinggal sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau
mau, aku tidak membutuhkannya.”
Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau
memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang
akan sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku
tidak lain hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak
menarik mataku. ( halaman 149)

Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah
tinggal satu bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku
mengambil kapal yang menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku
untuk perpisahan.
“Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti
hatinya mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
“Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai
di tempat yang kami tuju.”
“Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
“Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak
akan menemui perempuan lain di India.”
Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
“Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa
pun, itu bukan lagi urusanku.”
Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku
menghindarinya. ( halaman 149)

Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa
anakku ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk
mengerjakan cucian atau menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada
di bagian belakang kapal. Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di
geladak membaca buku, bercakap – cakap dengan penumpang lain, dengan
Marianne, Tuan Haller yang semakin hari menjadi semakin perhatian,
bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis surat. ( halaman 156)

Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal.
Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas
matahari untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini
menjadi tontonan yang paling ku senangi. Tidak hentinya mereka
mengejekku karena aku takut akan menjadi hitam. Kalau berjalan di ata
geladak, aku mencari tempat – tempat yang lindung. Dengan serta merta
mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang kena panas. (
halaman 156)

Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya
turun. Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai
tamasya yang diadakan oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau
Sri Lanka, dan akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak
turut dengan mereka, karena tidak ada yang menjaga anakku. ( halaman
163)

Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri
hanya ada dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua
bangsa Swedia, dan aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga
telah turun untuk kemudia menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller
mengikuti rombongan tamasya. Di tengah ruang ku lihat keempat perwira
lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku biasa makan sendirian.
Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. ( halaman 164)

Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum
kopi bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia
hanya mengerti bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku
mengambil air sereh karena malam hari aku tidak suka minum kopi.
Sebentar – sebentar mataku tidak dapat tertahan melayang ke meja
panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia bersama perwira –
perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong, aku
mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon
untuk membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku
yang biasa, di sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari
pintu masuk. Selintas – selintas ku lirik bayangan celana dan sepatu
putih yang hilir mudik dari sebelah kaca. Perwira – perwira kapal
sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan malam. ( halaman
164 )
Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
“Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
“Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
“Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
“Mereka baru turun ke kota.”
Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak
berpuluh tahun; tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku
melihatnya baik – baik dari dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
“Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku,
lalu duduk di sampingku.
“Anda gemar sekali membaca,” nada suaranya tidak bertanya.
“Gemar sekali,” jawabku.
“Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
“Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
“Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena
dapat mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya
yang berkulit cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
“Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
“Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah
menari dengan baik di kapal ini.”
Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan;
wajahnya, matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah
topi kerjanya. Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik,
dan apa saja yabg singgah di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku
naik ke kamarnya untuk mengambil buku yang telah dibacanya, yang
dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti kamar perwira –
perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar tidur. Aku
duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke
salon.
“Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia bertanya.
“Selalu.”
“Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam
sepuluh saya antar.”
Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke
kamarku. Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk
tidak menentu. Aku mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap
matanya, ku lihat ada sinar yang menyala dan menghanguskan seluruh
kesadaranku. ( halaman 165)

Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan
pengetahuan ini membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan
sewaktu dia mengajakku naik ke tempatnya untuk mengambil buku lain,
aku tahu bahwa aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tetapi aku naik ke
kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan ketenangan yang kekal.
Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap wajahku. Untuk
kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman 173)
“Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku
berkata perlahan.
“Ini yang pertama kalinya?”
Aku mengangguk.
“Kau menyesal?”
Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru
ku kecap bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah
aku benar – benar mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan
perempuan.
“Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. ( halaman 174)

Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
“Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
“Michel,” ulangku setengah berbisik.
“Dan kau, kau adalah penariku.”
Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
“Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka
dalam mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh
menyebutmu bonekaku yang mungil bukan?”
Aku tersenyum. Aku bahagia. ( halaman 175)

Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan
hendak mencium pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang
ku temui adalah seorang laki – laki yang semakin menggendut perutnya.
Keringatnya tajam berbau besi tua. Tangannya selalu bertengger dengan
pongahnya di pinggang. Kalau berbicara jarinya mengacung ke depan
hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut mengundurkan diri satu
atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan rasa muak. (
halaman 181)
*****

BIOGRAFI PENGARANG
NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah
tamat SMA bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA
Jakarta ( 1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (
1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah
menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang,
Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan
Semarang.
Karyanya : La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir
Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris
( 1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang – orang Tran (1985).
Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La Peste, 1985).

Referensi: http://tsuharyati.blogspot.com/2008/10/resensi-novel-angkatan-66.html

Pada Sebuah Kapal

Sri dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat menyenangi seni.
Ayahnya adalah seorang pelukis. Sejak kecil, dia dimasukkan ke sekolah
tari. Sri adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka hidup dengan
rukun di sebuah desa kecil yang terdapat di Semarang.
Saat umurnya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dan setelah selesai
sekolah menengah atas, Sri bekerja sebagai penyiar radio yang terdapat
di kotanya.selama tiga tahun menjadi penyiar radio, ia mulai merasa
jenuh dengan pekerjaannya. Sri mencoba mengikuti pendidikan pramugari
yang ada di kota tersebut dan akhirnya mendapat kesempatan untuk diuji
di Jakarta. Tapi sayang, ia tidak lulus menjadi pramugari disebabkan
adanya penyakit yang terdapat di dalam paru – parunya. Setelah
berobat, Sri harus istirahat selama tiga bulan dan ia memilih sebuah
desa di Salatiga untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setelah sembuh, Sri mencoba untuk hidup di Jakarta walaupun tidak
menjadi pramugari. Ia yakin dengan bakat yang dimilikinya ia dapat
hidup di Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang sebelumnya
ditempati oleh kakaknya, Sutopo yang telah lebih dulu ke Jakarta. Kini
Sutopo telah mempunyai rumah di Jakarta.
Di Jakarta ia bekerja sebagai penyiar radio dan penari untuk acara –
acara istana. Di gedung latihan itu, Sri menyukai seorang laki – laki.
Namanya Basir. Tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain,
Yus sangat mencintainya dan ingin menikah dengannya. Tapi Sri tidak
begitu menyukai Yus, karena komunis. Selain itu ada Narti, teman kecil
Sri waktu sekolah dasar yang sekarang menjadi pramugari. Narti sering
main ke rumah paman Sri untuk mengunjunginya. Narti memperkenalkan
kedua teman yang bekerja di angkatan udara kepada Sri, mereka bernama
Saputro dan Mokar.
Pertemanan Sri dan Suparto awalnya biasa – biasa saja. Seperti
biasanya, sikap Saputro sangat lembut dan perhatian. Dari sikapnya
itu, Sri mulai jatuh hati dengan sosok Saputro. Kedekatan antara Sri
dengan Saputro semakin dekat setelah mereka bertemu di acara Malam
Kesenian Kongres Pemuda se-Asia. Dari pertemuan itulah, keduanya yakin
kalau mereka saling mencintai. Saputro memiliki jadwal penerbangan
yang tidak menentu sehingga kedatangannya tidak dapat diperkirakan
oleh Sri. Setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di
Cekoslovakia, mereka memutuskan untuk tunangan dan segera menikah.
Setelah kembali dari Cekoslovakia, Saputro menemui Sri dan memberikan
sebuah cincin sebagai tanda pengikat diantara mereka. Malam itu pun
mereka habiskan bersama.
Seperti biasanya Saputro harus melakukan penerbangan dengan jadwal
yang tidak dapat dipastikan. Walaupun jarak yang jauh, mereka telah
menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan. Tapi kebahagiaan yang
sebentar lagi akan diraih oleh Sri harus bergantikan air mata, karena
Saputro tewas saat penerbangan dari Bandung menuju Jakarta karena
cuaca yang buruk.
Kabar ini sangat melukai hati Sri. Dia seperti tidak memiliki semangat
hidup, dan dia memutuskan untuk menenangkan diri. Dalam kesedihannya,
Carl selalu menghibur Sri. Carl adalah teman Sutopo yang sebenarnya
dia juga mencintai Sri. Namun ada satu hal yang tidak disukai Sri dari
Carl, dia terlalu sombong dengan kekayaan yang dimiliki olehnya
walaupun sikapnya baik terhadap Sri.
Sepuluh bulan setelah wafatnya Sutopo, Sri memutuskan akan menikah
dengan Charles yang berkebangsaan Perancis. Charles adalah seorang
diplomat yang sangat tertarik dengan kebudayaan. Keputusannya untuk
menikah dengan Charles ditentang oleh keluarga, terutama Sutopo.
Kakaknya itu tidak setuju kalau Sri menikah dengan Charles. Sutopo
yakin Sri tidak akan bahagia menikah dengan Charles karena Sri belum
begitu mengenal Charles. Namun Sri tidak peduli dengan nasehat
keluarga. Ia tetap menikah dengan Charles dan kewarganegaraannya
menjadi Perancis. Setelah menikah, mereka bermukim di Kobe, Jepang.
Kehidupan rumah tangga Sri tidak bahagia, Charles yang pada awalnya
baik, perhatian sebelum menikah, kini berubah menjadi seorang yang
pemarah, pelit, dan suka membentak – bentak. Sri yang sejak awal tidak
mencintai Charles, menjadi semakin benci karena sikap yang ditunjukan
Charles. Dari Charles, Sri melahirkan seorang anak perempuan.
Pada kesempatan liburan, Charles mengajak anak dan istrinya untuk
melakukan perjalanan ke beberapa Negara. Setelah dari Indonesia,
mereka berangkat ke Saigon. Di sana Charles Menyuruh kepada istrinya
untuk melakukan perjalanan dengan kapal. Sementara dirinya akan
mengunjungi beberapa Negara yang akan dikunjunginya. Sri tidak
keberatan melakukan perjalanan dengan kapal berdua dengan anaknya yang
masih berumur dua tahun. Karena dia tidak pernah mengharapkan suaminya
yang pemarah itu. Hanya kewajibanlah yang mengikat Sri untuk setia
terhadap suaminya.
Perjalanan dari Saigon menuju Marseille membutuhkan waktu yang lumayan
lama, sekitar tiga bulan. Di kapal itulah Sri bertemu dengan Michel,
seorang komandan kapal yang juga kecewa dengan istrinya. Sejak pertama
melihatnya, Sri sudah tertarik karena sikapnya dan pada beberapa
kesempatan, mereka bertemu. hubungan antara Sri dengan Michel semakin
dekat setelah acara pesta dansa. Sejak itu mereka sering bertemu dan
cinta pun tumbuh diantara mereka berdua. Awalnya Sri berpikir untuk
selalu setia terhadap suaminya yang tidak pernah dicintainya, tapi Sri
juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan. Dia sangat mencintai
Michel, dan Michel pun demikian. Sosok Michel mengingatkan Sri pada
cintanya yang telah hilang. Selama perjalanan itulah dia menemukan
kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dirasakan olehnya.
Setelah sampai di Marseille, Charles sudah menunggunya dan Sri pun
harus berpisah dengan kekasihnya Michel. Setelah pekerjaan suaminya
selesai, mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri berjalan seperti
biasanya. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya Michel
mengabarkanakan lewat telegram bahwa dia akan ke Yokohama. Sri sangat
gembira mendengar kabar ini. Akhirnya Michel dan Sri bertemu, mereka
saling mencintai dan pada kesempatan – kesempatan yang jarang itu
mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sri dan Michel menyadari
akan keterikatan mereka terhadap pernikahan yang mereka jalani dengan
pasangan masing – masing. Namun keadaan itu tidak menghalangi cinta
keduanya. Sri sadar akan kehidupan Michel, dan dia akan selalu
mencintai Michel.




B. Unsur Intrinsik novel “Pada Sebuah Kapal”

1. Tema
Perselingkuhan yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam rumah
tangga dan ketegaran dalam menghadapi semua masalah yang dihadapi
dalam hidup.
2. Latar atau Setting
a. Semarang
b. Jakarta
c. Kobe, Jepang
d. Kapal
e. Perancis
f. Yokohama
3. Alur atau Plot
a. Tahapan Permulaan
Sri dibesarkan dalam keluarga yang kental dengan darah seniman. Dia
adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Seperti kakak – kakaknya, dia
dimasukkan ke sekolah tari oleh ayahnya. Saat umurnya tiga belas
tahun, ayahnya meninggal. Setelah selesai dari sekolah menengah atas,
Sri bekerja sebagai penyiar radio yang ada di kotanya, Semarang. Tiga
tahun menjadi penyiar radio, Sri mulai merasa jenuh. Dia mencoba
mengikuti pendidikan pramugari dan akhirnya mendapat kesempatan untuk
diuji di Jakarta. Sri mengikuti berbagai macam tes. Hasil tes dapat
diketahui beberapa bulan kemudian. Berdasarkan hasil tes yang
diterima, Sri mengidap penyakit paru – paru, sehingga dia tidak
diterima menjadi pramugari. Sri melakukan pengobatan dan istirahat
total dari pekerjaannya selama dua bulan. Dia memilih tinggal di
Salatiga untuk menyembuhkan lubang yang terdapat di paru – parunya.
Setelah sembuh, Sri memutuskan pergi ke Jakarta. Dia tinggal di rumah
pamannya yang dulu ditempati Sutopo, kakaknya yang telah lebih dulu ke
Jakarta. Sekarang Sutopo memiliki rumah sendiri di Jakarta.
b. Tahapan Pertikaian
Selain bekerja sebagai penyiar radio, Sri menjadi penari untuk menari
di istana pada perayaan – perayaan tertentu. Rekan – rekan kerjanya,
sebagian tidak menyukai Sri, namun Sri tetap sopan terhadap mereka dan
bersabar menghadapi semuanya. Di Jakarta, Sri bertemu dengan teman
kecilnya waktu sekolah dasar, namanya Narti. Sekarang Narti bekerja
sebagai pramugari. Dia sering menemui Sri untuk sekedar makan atau
nonton film. Dari Narti, Sri mengenal Mokar dan Saputro yang merupakan
pilot angkatan udara. Selain itu, Carl seorang warga negara asing,
kawan Sutopo, dan Charles yang berkebangsaan Perancis yang sangat
tertarik dengan kebudayaan. Setelah beberapa lama tinggal di Jakarta,
Ibu Sri meninggal.
c. Tahapan Perumitan
Sri bertemu lagi dengan Saputro pada Malam Kesenian Pemuda se- Asia.
Pada saat itu Sri merasakan ada yang berbeda dalam dirinya, begitu
melihat sikap Saputro yang seperti mencintanya. Padahal sebelum –
sebelumnya mereka sering pergi bersama tapi bersama Narti dan Mokar.
Sejak malam itu, keduanya semakin dekat dan menjalin kasih. Setelah
merasa cukup, mereka memutuskan akan tunangan dan segera menikah
setelah Saputro selesai mengikuti pendidikan di Cekoslovakia. Namun
impian yang telah dirancang itu harus terkubur dalam – dalam, karena
Saputro tewas saat penerbangan Bandung – Jakarta. Hati Sri hancur
mendengar kabar buruk itu, Sri tenggelam dalam kesedihan. Di saat yang
sulit – sulit itu, Carl selalu menghibur Sri, karena dari awal dia
juga sudah menyukai Sri. Namun Sri menolak cinta Carl. Setelah sepuluh
bulan kematian tunangannya, Sri memutuskan untuk menikah dengan
Charles. Walaupun sebenarnya, dia idak mencintai Charles. Keputusan
Sri untuk menikah dengan Charles tidak disetujui oleh keluarga,
terutama kakaknya. Sutopo yakin kalau adiknya tidak akan bahagia jika
menikah dengan Charles, karena Sri belum terlalu mengenal Charles
dengan baik. Namun Sri keras kepala, Dia tetap menikah dengan Charles
d. Tahapan Puncak ( klimaks)
Setelah menikah dengan Charles, kewarganegaraan Sri berubah menjadi
Perancis mengikuti suaminya. Mereka menetap di Kobe-Japang. Pernikahan
Sri dengan Charles tidak bahagia, walaupun Charles selalu bilang
mencintainya. Setelah menikah, sikap Charles berubah. Charles tidak
lagi seperti yang dikenal Sri sebelum menikah. Sekarang Charles suka
marah – marah dan membentak Sri. Sikap ini membuat Sri semakin
membenci Charles. Dari Charles, Sri melahirkan anak perempuan. Saat
umur anaknya dua tahun, Charles mengajak istrinya berkunjung ke
beberapa Negara. Setelah satu bulan berada di Indonesia, mereka
terbang ke Saigon. Disana Charles meminta istri dan anaknya untuk
melakukan perjalanan dengan kapal, sedangkan dirinya akan mengunjungi
Negara – Negara yang ingin dikunjunginya.di kapal itulah Sri menemukan
kebahagiaan yang selama ini telah hilang.
Dalam perjalanan dari Saigon menuju Marseille, Sri bertemu dengan
seorang komandan kapal bernama Michel Dubanton. Sikap yang
ditunjukkannya membuat Sri jatuh hati pada komandan tersebut. Dalam
beberapa kesempatan, mereka bertemu dan mulai mengenal satu sama lain.
Sri yang tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Charles, dan Michel
yang kecewa dengan istrinya Nicole, mencoba mencari kebahagiaan di
luar pernikahannya. Perjalanan dari Saigon menuju Marseille merupakan
hal ang sangat membahagiakan bagi Sri, walaupun dia tahu menghianati
suaminya merupakan suatu kesalahan, tapi dia tidak menyesalinya.
e. Tahapan Peleraian
Setelah perjalanan berakhir, Sri dan Michel harus berpisah. Sri sangat
sedih, dia menangis karena perpisahan mengingatkan dirinya akan
seseorang yang telah meninggalkannya. Setelah urusan suaminya selesai,
mereka kembali ke Kobe. Kehidupan Sri kembali seperti semula rumah
tangganya dilalui dengan pertengkaran – pertengkaran. Sampai – sampai
Sri memutuskan meminta cerai kepada suaminya dengan alasan sudah tidak
mencintainya lagi. Tapi Charles menolak dengan alasan anak. Setelah
beberapa lama tidak bertemu, Michel mengabarkan akan ke Yokohama dan
kesempatan itu tidak disia – siakan oleh mereka.
f. Tahapan Akhir
Sri menyadari bahwa dia dan Michel terikat oleh pasangan masing –
masing. Apalagi Michel adalah seorang pelaut ang sering jauh
darikeluarga, di pasti sering bertemu dengan perempuan – perempuan
dari berbagai negara yang mungkin saja menarik hatinya. Walaupun
Michel harus mengkhianati cintanya, tapi Sri akan selalu mencintai
Michel.
4. Sudut Pandang
Orang pertama. Karena dalam cerita, pengarang bertindak sebagai tokoh utama.
5. Penokohan
a. Sri : penuh semangat, tegar, keras kepala, sabar.
b. Michel : sabar, penyayang.
c. Saputro : sabar, penyayang.
d. Charles : pemarah, pelit, egois.
e. Sutopo : perhatian, suka menasehati.
f. Carl : baik hati, sedikit sombong.
6. Gaya Penulisan
Novel “Pada Sebuah Kapal” tidak jauh berbeda dengan novel – novel
karya NH. Dini yang lainnya. Namun novel ini bukan merupakan kisah
nyata yang dialami NH. Dini, walaupun menggunakan sudut pandang orang
pertama dan seting tempat serta tokoh – tokoh yang diceritakan di
dalam novel ini berkaitan dengan kehidupan NH. Dini. Dalam
penulisannya, banyak terdapat gaya bahasa seperti personifikasi,
hiperbola, dan simile.
7. Amanat
Manusia harus selalu sabar dalam menghdapi semua masalah kehidupan,
harus mau menerima nasihat dari orang – orang terdekat, dan harus
bertanggung jawab dengan langkah yang telah diambil.





Kutipan novel “Pada Sebuah Kapal”

*****
Malam itu aku seperti menandatangani suatu perjanjian. Waktu aku
mengawininya, aku tahu bahwa aku tidak mencintainya. Tetapi aku
berkata kepada diriku sendiri untuk mencintainya, aku kawin dengan dia
karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan
kehilanganku. Pemuda – pemuda di negeriku menganggap seorang wanita
yang telah kehilngan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. Aku tahu
bahwa kawan – kawan Saputro mengetahui hubungan kami. Sebentar Nyoman
nampak semakin mendekatiku. Beberapa kali dia membayangkan
perhatiannya terhadapku. Tetapi aku tidak mau merubah rencana
hidupnya. Apalagi karena aku tahu bahwa dia merasa tersiksa oleh
kematian kawannya itu. Seolah tanggungjawabnyalah untuk memberiku
kehidupan yang telah ku idamkan bersama Saputro. Mungkin Nyoman benar
– benar mencintaiku. Tapi apakah arti perkataan “mungkin” bagiku
sedangkan di lain pihak aku tahu benar bahwa Charles tidak dapat
menunggu keputusanku untuk berangkat ke Jepang. Dan itulah sebabnya
aku kawin dengan dia. Dia tidak kaya seperti Carl. Tapi darinya aku
lebih berani mengharapkan kesetiaan daripada Carl. ( halaman 123)

Kadang – kadang aku berpikir apakah yang ku dapat dari perkawinan?
Ataukah itu disebabkan oleh perkawinan campuran? Ataukah itu
disebabkan oleh nasibku? Benarkah seperti kata Sutopo bahwa aku tidak
cukup mengenal orang yang ku kawin? Tapi aku telah membacai surat –
suratnya. Kini aku mengerti bahwa pikiran orang di surat sama sekali
tidak bisa ditandai sebagai cerminan watak. Dan apakah sebenarnya yang
ku ketahui dari Charles sebelum perkawinan? Pikiranku terlalu kalut
ketika aku sadar bahwa Saputro meninggal dan tetap meninggal untuk
tidak akan muncul kembali. ( halaman 124)
Anakku hampir berumur dua tahun. Dinas suamiku di negeri ini belum
selesai. Tetapi dia diperbolehkan mengambil libur panjang, karena dia
akan tinggal di tempat yang sama selama dua tahun lagi yang berarti
setahun lebih lama daripada waktu dinas yang biasa. Rencananya amat
berliku – liku. Kami akan bersama – sama menuju Indonesia dan tinggal
di sana selama satu bulan. Dari sana kami ke Saigon, di mana Charles
akan melepaskan kami, anakku dan aku, dengan sebuah kapal. Dia akan
meneruskan perjalanan dengan pesawat terbang, melalui kota – kota di
India yang telah lama ingin dikunjunginya. ( halaman 147)

Aku tidak berkeberatan mengadakan perjalanan seorang diri. Tetapi cara
suamiku melepaskan kami hanya untuk bersenang – senang, ini tidak ku
setujui. Beberapa kawan orang Perancis berkata bahwa tidak seharusnya
membiarkan suamiku leluasa seorang diri. Aku dengan tenang menjawab
bahwa aku mempercayai Charles. Yang mengkhawatirkanku hanyalah
kemungkinan ada kecelakaan, akan garis nasib yang tidak bias kita
ketahui. Tiba – tiba aku menjadi cemas akan hal ini. Dengan ragu –
ragu aku mengatakannya kepada Charles.
“ Kau terpengaruh oleh omongan orang – orang Perancis itu.”
Tidak, tentu saja ini tidak benar. Tetapi aku berpikir seketika bahwa
Charles akan tersinggung kalau mengetahui bahwa orang – orang itu bias
mempengaruhiku, lebih daripada dia sendiri bisa menyuapkan pendapatnya
kepdaku.
“Mereka memberiku pikiran untuk ku pertimbangkan. Aku memutuskan bahwa
kau lebih baik tidak mengadakan perjalanan ke India kali ini. Kita
akan ke sana bersama – sama.”
“Bersama – sama? Dengan anak kita? Kau akan membawanya di bawah panas
terik matahari ke tempat – tempat yang liar semacam itu? Tidak!”
katanya dengan tegas. “Aku akan berangkat sendiri.”
“Dia akan berumur tiga bulan lebih tua kalau kita kembali dari Eropa.
Kita akan lebih leluasa mengajaknya kemana – mana.”
“Aku akan lebih leluasa bepergian sendiri,” katanya memutuskan
bicaraku. ( halaman 147)
Dengan sedih aku memandang ke luar. Aku tidak pernah lagi memandangi
wajahnya . bagiku segala yang membikinku sakit terkumpul di sana.
“Aku sudah memutuskan untuk pergi seorang diri, dan akan tetap terjadi
demikian,” katanya lagi.
“Aku juga mempunyai keputusan,” kataku perlahan. “Kalau terjadi apa –
apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau
bersusah payah langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir
dari kau. Dia akan ku berikan pada sebuah rumah penitipan anak – anak.
Aku tidak mau membawanya bersamaku.”
Sebentar dia tidak bersuara seolah tidak mengerti apa maksudku.
“Bagaimana?” akhirnya dia bertanya.
“Kalau kau mati dalam perjalanan itu, anak kita akan ku masukkan ke
rumah sosial.”
“Kau tidak bersungguh – sungguh. Kau gila!” serunya. Matanya melotot menatapku.
“Aku mengatakan apa yang ku pikir.”
“Aku tidak percaya!” dan dia memaksa merendahkan suaranya.
“Kau seorang ibu, hanya dari kaulah anakmu akan mendapatkan cinta yang
sebenarnya. Aku tidak percaya.”
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak. Bagiku anakku merupakan
penghambat yang besar kalau aku harus bekrja mencari nafkah di Eropa.
Aku bukan lagi warga negara Indonesia dan aku tidak mau kembali ke
negeriku untuk bekerja. Aku akan memilih negeriku yang kedua. Kau
selalu berkata bahwa aku tidak akan bisa mengerjakan sesuatu pun di
negerimu. Tetapi aku akan mencoba dan aku akan membuktikan bahwa aku
juga sanggup mencari kehidupan di negeri itu sebagaimana orang – orang
di sana.”
Dengan keheranan dia memandang kepadaku. Seolah mengukur tubuhku,
melihat seekor binatang mengerikan yang baru kali itu dilihatnya. Tiba
– tiba dia terduduk, menutup mukanya dengan kedua tangan.
“Tidak, aku tidak percaya. Perempuan apakah yang telah ku kawini ini?”
setengah berbisik aku mendengar kata – katanya. ( halaman 148)

Sikapnya yang cengeng itu menggelikanku.
“Aku juga berpikir laki – laki apakah yang telah ku kawini ini? Dia
terlalu lama bersendiri, terlalu mau memerintah, dan selalu mau menang
sendiri!” kataku dengan suara ejekan yang tidak bias ku tahan lagi.
“Aku mau supaya kita benar – benar memikirkan perceraian kali ini.
Sesampai di Eropa aku akan tinggal sendiri. Kau bawa anakmu kalau kau
mau, aku tidak membutuhkannya.”
Dan ku tinggalkan dia dengan segala pemikirannya kalau memang dia mau
memikirkan sedikit mengenai hal kami berdu. Aku sudah terlalu kenyang
akan sikapnya yang serba mau senang sendiri. Laki – laki itu bagiku
tidak lain hanyalah sebuah onggokan daging yang sama sekali tidak
menarik mataku. ( halaman 149)

Rencananya tetap. Aku amat jarang berbicara dengan dia. Setelah
tinggal satu bulan di negeriku, kami terbang ke Saigon. Anakku dan aku
mengambil kapal yang menuju ke Perancis. Dan Charles mencium keningku
untuk perpisahan.
“Aku akan berusaha sampai di Marseille untuk menjemputmu,” katanya.
Sebetulnya aku tidak perlu menjawab . tetapi kebutuhan untuk menyakiti
hatinya mendorongku untuk mengatakan sesuatu.
“Seperti kau mau. Tanpa kau kami juga bias turun dari kapal dan sampai
di tempat yang kami tuju.”
“Mengapa kau menjadi sejahat ini?” tanyanya.
Aku mencibirkan bibir dengan tiada sadar
“Ka tau benar aku tidak akan bepergian dengan perempuan lain, tidak
akan menemui perempuan lain di India.”
Oh, jadi dia mengiraku cemburu!
“Aku tidak peduli apa yang kau kerjakan. Kau mau tidur dengan siapa
pun, itu bukan lagi urusanku.”
Dia tertegun seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi aku
menghindarinya. ( halaman 149)

Runtutan waktu – waktuku ku atur sebaik – baiknya. Pagi – pagi ku bawa
anakku ke mamar bermain. Kemudian aku kembali ke kabin untuk
mengerjakan cucian atau menggosok pakaian di ruang seterikaan yang ada
di bagian belakang kapal. Sesudah itu aku biasanya duduk – duduk di
geladak membaca buku, bercakap – cakap dengan penumpang lain, dengan
Marianne, Tuan Haller yang semakin hari menjadi semakin perhatian,
bermain kartu dengan Nyonya Bucler atau menulis surat. ( halaman 156)

Aku mendapat beberapa orang kawan yang baik pada hari ketiga di kapal.
Penumpang – penumpang kulit putih kebanyakan berjemur di bawah panas
matahari untuk mendapatkan warna kecoklatan seperti kulitku. Ini
menjadi tontonan yang paling ku senangi. Tidak hentinya mereka
mengejekku karena aku takut akan menjadi hitam. Kalau berjalan di ata
geladak, aku mencari tempat – tempat yang lindung. Dengan serta merta
mereka tertawa dan menarik – narikku ke bagian yang kena panas. (
halaman 156)

Keesokan harinya kapal sampai di Kolombo. Marianne dan keluarganya
turun. Sebagian besar penumpang mencatatkan diri untuk menyertai
tamasya yang diadakan oleh perusahaan kapal. Mereka mengunjungi pulau
Sri Lanka, dan akan kembali ke pelabuhan keesokan harinya. Aku tidak
turut dengan mereka, karena tidak ada yang menjaga anakku. ( halaman
163)

Pada malam hari ku lihat ruang makan lengang. Di sudut sebelah kiri
hanya ada dua orang. Sedangkan di sebelah kana nada seorang wanita tua
bangsa Swedia, dan aku seorang diri di mejaku. Nyonya Bucler juga
telah turun untuk kemudia menemui anaknya di Kalkuta. Tuan Haller
mengikuti rombongan tamasya. Di tengah ruang ku lihat keempat perwira
lengkap. Komandan Muret tidak kelihatan. Aku biasa makan sendirian.
Tetapi di kapal, itu adalah kali yang pertama. ( halaman 164)

Sesudah makan, aku menerima ajakan Nyonya bangsa Swedia untuk minum
kopi bersama – sama. Percakapan dengan dia tidak mudah karena dia
hanya mengerti bahasa inggris dan perancis sedikit – sedikit. Aku
mengambil air sereh karena malam hari aku tidak suka minum kopi.
Sebentar – sebentar mataku tidak dapat tertahan melayang ke meja
panjang dimana di dekatnya terletak bar kapal. Dia bersama perwira –
perwira lain minum kopi di sana. Setelah cangkirku kosong, aku
mengucapkan selamat malam kepada kawan semejaku, lalu menuju ke salon
untuk membaca buku sambil mendengarkan musik. Ku pilih tempat dudukku
yang biasa, di sudut dari mana aku bisa melihat ke luar, jauh dari
pintu masuk. Selintas – selintas ku lirik bayangan celana dan sepatu
putih yang hilir mudik dari sebelah kaca. Perwira – perwira kapal
sedang melakukan olah raga gerak jalan sesudah makan malam. ( halaman
164 )
Sementara aku tenggelam ke dalam cerita bukuku, ku dengar pintu terbuka suara:
“Seluruh kapal ini milik Anda, Nyonya.”
Aku menegakkan kepala. Ku lihat dia berjalan ke arahku sambil tersenyum.
“Mengapa?” hanya itulah yang dapat ku ucapkan.
“Karena Nyonya adalah satu – satunya penumpang sekarang.”
“Tadi ada lain – lainnya di kamar makan.”
“Mereka baru turun ke kota.”
Kami berpandangan seperti dua orang yang saling mengenal sejak
berpuluh tahun; tanpa kekenesan, tanpa rabaan, baru kali itulah aku
melihatnya baik – baik dari dekat. Dadaku tiba – tiba memanas.
“Apa yang anda baca?” katanya, dan diambilnya buku dari pangkuanku,
lalu duduk di sampingku.
“Anda gemar sekali membaca,” nada suaranya tidak bertanya.
“Gemar sekali,” jawabku.
“Saya lihat Anda selalu menyendiri di pojok dengan sebuah buku.”
Aku menegakkan kepala untuk benar – benar menatapnya.
“Anda mengetahui benar kebiasaan saya.”
“Semuanya,” katanya, pada mukanya terbayang kegembiraannya karena
dapat mengejutkanku. “Anda sering bersama – sama dengan seorang Nyonya
yang berkulit cokelat. Dia turun di sini saya kira.”
“Ya, tadi pagi dia sudah turun.”
Sekali lagi ku perhatikan kepuasan perasaannya.
“Satu hal lagi. Anda adalah satu – satunya penumpang yang pernah
menari dengan baik di kapal ini.”
Aku tersenyum. Kami bersama – sama tersenyum sambil berpandangan;
wajahnya, matanya. Rambutnya kelam seperti malam, tersembunyi di bawah
topi kerjanya. Kami kemudian berbicara mengenai buku – buku, musik,
dan apa saja yabg singgah di pikiran pada waktu itu. Dia mengajakku
naik ke kamarnya untuk mengambil buku yang telah dibacanya, yang
dikiranya aku akan menyukainya. Kamarnya seperti kamar perwira –
perwira lainnya terbagi dua bagian: kamar kerja dan kamar tidur. Aku
duduk di kursi kamar kerjanya sebentar, lalu kami kembali turun ke
salon.
“Anda juga mengikuti siaran – siaran musik klasik pada sore hari?” dia bertanya.
“Selalu.”
“Kalau anda mau melihat – lihat bagian bawah, besok pagi sesudah jam
sepuluh saya antar.”
Aku berterima kasih atas janjinya. Lalu kami berpisah. Aku kembali ke
kamarku. Hatiku dipenuhi rasa bahagia dan kerinduan yang berkecamuk
tidak menentu. Aku mencintainya, bisikku seorang diri. Setiap ku tatap
matanya, ku lihat ada sinar yang menyala dan menghanguskan seluruh
kesadaranku. ( halaman 165)

Sehabis makan malam aku ke salon. Aku tahu dia akan datang, dan
pengetahuan ini membikinku semakin tak sabar menantikannya. Dan
sewaktu dia mengajakku naik ke tempatnya untuk mengambil buku lain,
aku tahu bahwa aku seharusnya tidak menyetujuinya. Tetapi aku naik ke
kamarnya. Ku lihat dia mengunci pintu dengan ketenangan yang kekal.
Dia meletakkan kunci tersebut di depanku dan menatap wajahku. Untuk
kesekian kalinya kami berpandangan. Dan begitulah. ( halaman 173)
“Aku telah mengkhianati suamiku,” seperti membutuhkan pengakuan, aku
berkata perlahan.
“Ini yang pertama kalinya?”
Aku mengangguk.
“Kau menyesal?”
Benarkah aku menyesal? Aku tidak menyesalinya. Kebahagiaan yang baru
ku kecap bersamanya belum pernah ku rasakan. Seolah baru sekali itulah
aku benar – benar mengenal kedalaman arti hidup antara laki – laki dan
perempuan.
“Aku tidak mengetahui namamu?” kataku kemudian. ( halaman 174)

Kami berpandangan, seolah hendak menerobos isi hati masing – masing.
“Kau lihat namaku di daftar penumpang. Panggillah aku Michel.
“Michel,” ulangku setengah berbisik.
“Dan kau, kau adalah penariku.”
Aku hendak menyebutkan namaku, tetapi dia meneruskan bicaranya.
“Ketika ku lihat kau menari, aku seperti seperti melihat sebuah boneka
dalam mimpiku. Jauh sekali, tetapi terang dan keemasan. Aku boleh
menyebutmu bonekaku yang mungil bukan?”
Aku tersenyum. Aku bahagia. ( halaman 175)

Di Marseille, Charles menunggu kami. Ketika dia secara kesopanan
hendak mencium pipiku di geladak, aku hampir memalingkan mukaku. Yang
ku temui adalah seorang laki – laki yang semakin menggendut perutnya.
Keringatnya tajam berbau besi tua. Tangannya selalu bertengger dengan
pongahnya di pinggang. Kalau berbicara jarinya mengacung ke depan
hampir menyentuh hidungku. Aku dengan kecut mengundurkan diri satu
atau dua langkah sambil menoleh untuk menyembunyikan rasa muak. (
halaman 181)
*****

BIOGRAFI PENGARANG
NH. Dini lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Setelah
tamat SMA bagian sastra ( 1956), mengikuti Kursus Pramugari Darat GIA
Jakarta ( 1956), dan terakhir mengikuti Kursus B-I Jurusan Sejarah (
1957). Tahun 1957-1960 bekerja di GIA Kemayoran, Jakarta. Setelah
menikah dengan Yves Coffin, berturut – turut Ia bermukim di Jepang,
Perancis, Amerika Serikat, dan sejak 1980 menetap di Jakarta dan
Semarang.
Karyanya : La Barka ( 1975), Namaku Hiroko ( 1977), Keberangkatan
(1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir
Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileris
( 1982), Segi dan Garis (1983), dan Orang – orang Tran (1985).
Terjemahannya: Sampar ( Karya Albert Camus, La Peste, 1985).

Referensi: http://tsuharyati.blogspot.com/2008/10/resensi-novel-angkatan-66.html

Sabtu, 17 Desember 2011

Menjemput Impian

Indah larik pelangi, seusai hujan membuka hari
Samar dirajut mega, garis wajahmu lembut tercipta
Telah jauh kutempuh perjalanan
Bawa sebentuk cinta, menjemput impian

Desau rindu meresap, kenangan haru kudekap
Semakin dekat tuntaskan penantian
Kekasih, aku pulang
Menjemput impian

Kau dan aku, jadi satu
Arungi laut biru
Tak kan ada yang kuasa
Mengusik haluannya

Kau dan aku, jadi satu
Sambut datangku

Sekian lama waktu telah mengurai makna
Cinta kita gemerlap terasah masa
'Kan kubuat prasasti, dari tulusnya janji
Walau apa terjadi, tetap tegak berdiri

Kau dan aku jadi satu
Bersama kita jemput impian


lagu benar-benar menyentuh hati , setiap lirik katanya benar-benar sangat indah

The Lazy Song

Today I don't feel like doing anything
I just wanna lay in my bed
Don't feel like picking up my phone,
So leave a message at the tone
Cause today I swear I'm not doing anything

I'm gonna kick my feet up then stare at the fan
Turn the TV on, throw my hand in my pants
Nobody's gon' tell me I can't....

I'll be lounging on the couch just chilling in my Snuggie
Click to MTV so they can teach me how to dougie
Cause in my castle I'm the freaking man

Oh yes, I said it, I said it
I said it 'cause I can...

Today I don't feel like doing anything
I just wanna lay in my bed
Don't feel like picking up my phone,
so leave a message at the tone
Cause today I swear I'm not doing anything
Nothing at all, nothing at all

Tomorrow I'll wake up, do some P90X
Find a really nice girl, have some really nice sex
And she's gonna scream out
This is great
Oh my god, this is great..

Yeah, I might mess around
And get my college degree
I bet my old man will be so proud of me
But sorry pops, you'll just have to wait

Oh yes, I said it, I said it
I said it 'cause I can

Today I don't feel like doing anything
I just wanna lay in my bed
Don't feel like picking up my phone
So leave a message at the tone
Cause today I swear I'm not doing anything

No, I ain't gonna comb my hair
Cause I ain't going anywhere
No, no, no, no, no, no, no, no, no

I'll just strut in my birthday suit
And let everything hang loose
Yeah, yeah, yeah, yeah, yeah
Yeah, yeah, yeah, yeah, yeah, yeah

Oh, today I don't feel like doing anything
I just wanna lay in my bed
Don't feel like picking up my phone
so leave a message at the tone
Cause today I swear I'm not doing anything

Nothing at all...
Nothing at all...
Nothing at all...

When You Look Me In The Eyes

Oh yeah oh yeah
If the heart is always searching
Can you ever find a home?
I've been looking for that someone
I'll never make it on my own
Dreams can't take the place of loving you
There's gotta be a million reasons why it's true

When you look me in the eyes
And tell me that you love me
Everything's alright
When you're right here by my side
When you look me in the eyes
I catch a glimpse of heaven
I find my paradise
When you look me in the eyes

How long will I be waiting
To be with you again?
Gonna tell you that I love you
In the best way that I can
I can't take a day without you here
You're the light that makes my darkness disappear

When you look me in the eyes
And tell me that you love me
Everything's alright
When you're right here by my side
When you look me in the eyes
I catch a glimpse of heaven
I find my paradise
When you look me in the eyes

More and more I start to realize
I can reach my tomorrow
I can hold my head up high
And it's all because you're by my side

When you look me in the eyes
And tell me that you love me
Everything's alright
When you're right here by my side
And when I hold you in my arms
I know that it's forever
I just gotta let you know
I never wanna let you go cause

When you look me in the eyes
And tell me that you love me
Everything's alright (it's alright)
When you're right here by my side (by my side)
When you look me in the eyes
I catch a glimpse of heaven (oh)
I find my paradise
When you look me in the eyes
Oh yeah oh whoa yeah

Gejala Kanker Kulit

Tanda-tanda kanker kulit yaitu berupa benjolan. Kadang seperti tahi lalat yang makin lama makin besar adalah salah satu tandanya.
"Serta bentuknya tidak beraturan. Biasanya tanpa ada rasa sakit atau nyeri," terang dr Syafei M Hamzah SpKK, Spesialis Kulit dan Kelamin, RSUAM Bandar Lampung
Kanker kulit sering menjangkiti daerah wajah. Terjadi akibat sering terpapar sinar matahari. Terutama bagi orang-orang yang kerjanya di tempat terbuka seperti petani atau nelayan. Dan paling banyak terjadi pada usia di atas 40 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan kanker kulit ini menyerang daerah lain.
Cara menghilangkan kanker ini, yaitu dengan operasi pengangkatan. Makin cepat makin baik, dan sebelum ukurannya makin membesar. Jadi apabila dicurigai terkena kanker kulit, segera konsultasikan ke dokter agar mendapat tindakan yang tepat.


diambil dari : http://id.she.yahoo.com/tahi-lalat-makin-membesar-awas-kanker-kulit-132052718.html

Gejala Kanker Mulut

Kanker rongga mulut dapat juga dideteksi dini sebelum melakukan pemeriksaan ke dokter ahli bedah mulut. Dokter Spesialis Bedah Mulut dan juga Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unhas drg Muhammad Ruslim MKes SpBM mengatakan, sebagian besar dokter dan dokter gigi menyarankan agar seseorang berperan aktif dalam deteksi dini keganasan dalam rongga mulut dengan cara melakukan pemeriksaan sendiri setiap bulan.
Deteksi dini kanker rongga mulut ini bertujuan untuk mengenali atau mencurigai terdapatnya kanker ronggo mulut pada tahap awal. "Pemeriksaan rongga mulut merupakan bagian yang penting dari evaluasi fisik dalam deteksi dini keganasan rongga mulut. Sehingga penobatan yang cepat dan tepat akan memberikan hasil yang memuaskan dengan prognosa baik," ujar Ruslin yang juga Ketua Pengurus Wilayah Sulawesi Persatuan Ahli bedah mulut dan Maksilofasial Indonesia (PABMI) Sulawesi ini.
Berikut tanda-tanda dini yang dapat ditemukan untuk kanker rongga mulut.
1. Adanya luka pada wajah, leher kepala atau mulut yang tidak sembuh dalam waktu 2 minggu.
2. Pembekakan, benjolan pada bibir, gusi atau daerah lainnya di dalam rongga mulut.
3. Adanya tanda kemerahan, pengerasan di sekitar rongga mulut.
4. Pendarahan yang berulang di dalam rongga mulut.
5. Parasthesia, nyeri di sekitar wajah, mulut atau leher.
6. Nyeri pada telinga.
7. Kesulitan pada menggerakkan rahang atau lidah.
8. Pembekakan rahang sehingga gigi tiruan menjadi tidak fit dan stabil.
9. Perubahan suara.
10. Massa di leher.
11. Kehilangan berat badan.


diambil dari : http://id.she.yahoo.com/perhatikan-12-tanda-tanda-dini-kanker-rongga-mulut-010523554.html

dylan, i love you

Alice adalah seorang cewek blasteran yang punya hidung aga bangir , dia ga punya tinggi badan 175 cm dan dia benci banget jadi setengah bule karena sewaktu kecil sering diejek .. bule kampung !!
Tapi hidup alice berubah total setelah ia ketemu dylan siregar , vokalis band skillful . Cowok itu benar-benar jenis cowok yang adorable ganteng , terkenal , keren , tajir , low profile , pokoknya sanggup bikin mahluk cewek klepek-klepek.
Masalahnya alice ga tau gimana caranya supaya deket sama dylan . Cowok itu kan seleb , sementara dia cuma anak SMA biasa . Alice tambah jengkel karena temannya menyarankan dia untuk ga mengkhayal terlalu muluk tentang dylan . Memangnya salah ya , kalau kita berkhayal bisa pacaran sama seleb ?
dan emangnya seandainya nih , impian itu tercapai , apa jadi pacar dylan bener bener seindah yg alice bayangkan ? dan akhirnya mereka pun jadian dan mereka bener-bener cocok